Sabtu, 14 Maret 2015

Terowongan Neyama, Tulungagung


Terowongan Neyama Peninggalan Jepang di Akar Gunung
Tahun 1955 Tulungagung dilabrak banjir bandang. Bencana itu menyulud tekad untuk meningkatkan fungsi Terowongan Neyama. Setahun kemudian, Dinas Pengairan Propinsi Jatim merencanakan pembangunan Parit Raya untuk mengalirkan air dari Kali Ngasinan dan sungai-sungai kecil yang di barat Kali Ngrowo langsung ke Samudra Indonesia. Semua bangunan dapat diselesaikan tahun 1961
http://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/03/terowongan-001.jpg?w=300&h=212Tulungagung, salah satu kabupaten di Jatim belahan selaltan, memiliki potensi wisata edukatif yang lumayan memikat. Objek wisata itu berwujud salah satunya bendungan: Bendungan Neyama yang bersejarah, sekaligus waduk besar kedua yang dikelola Perum Jasa Tirta (PJT) Divisi V Jatim. Bendungan bersejarah itu lazim disebut Terowongan Neyama. Maklum, dibangun sebagai daerah sudetan (menyerupai terowongan) untuk menanggulangi ancaman bencana banjir. Dinilai bersejarah, karena sudah ada sejak zaman kolonial Jepang. Neyama sendiri berasal dari bahasa Jepang. Ne artinya akar, yama artinya gunung. Jadi, Neyama berarti akar gunung.
Maklum, lokasi terowongan ini memang tepat berada di bawah pegunungan batu di kawasan Popoh, sekitar 30 km selatan pusat kota Tulungagung. Tulungagung sudah terkenal sebagai daerah “pelanggan” banjir tiap tahun.  Dibanding dengan daerah lain di sepanjang DAS (daerah aliran sungai) Kali Brantas, Tulungagung memiliki areal genangan terluas dan terlama. Hal ini disebabkan kondisi daerahnya yang tidak memungkinkan untuk mengalirkan air dengan cara drainase alami. Di samping itu, kapasitas pengaliran ke sungai Kali Brantas menjadi berkurang, karena pendangkalan sungai. Sumber pendangkalan adalah ali ran pasir dari Gunung Kelud. Perbaikan sungai di kawasan Tulungagung dilakukan kali pertama tahun 1939. Perencanaannya disiapkan oleh Ir. H. Vlughter asal Belanda.
Konsepsi perencanaannya, mengalirkan air sungai Kali Ngasinan dan Kali Tawing ke Rawa Bening dan Rawa Gesikan dengan sedimen secara alamiah. Hasil proyek itu berupa Dam Widoro (berikut bangunan fasilitasnya), Sudetan Munjungan (menghubungkan Kali Tawing dan Kali Ngasinan), Dam Sumbergayam (plus bangunan fasilitasnya), Sudetan Ngasinan-Ngrowo, serta Pintu Air Cluwok hingga ke hilir.   Kendati demikian, banjir belum bisa tertanggulangi. Pada tahun 1944, zaman penjajahan Jepang dilaksanakan pembuatan terowongan kecil dengan kapasitas 7 m3/detik. Terowongan ini diberi nama dalam bahasa Jawa, Terawongan Tumpak Oyad atau lebih dikenal dengan Terowongan Neyama. Sayang, kapasitas terowongan kurang memadai dan kurang terpelihara, sehingga tidak bisa optimal berfungsi sebagai pengendali banjir.
Paritraya
Tahun 1955 Tulungagung dilabrak banjir bandang. Bencana itu menyulud tekad untuk meningkatkan fungsi Terowongan Neyama. Setahun kemudian, Dinas Pengairan Propinsi Jatim merencanakan pembangunan Parit Raya untuk mengalirkan air dari Kali Ngasinan dan sungai-sungai kecil yang di barat Kali Ngrowo langsung ke Samudra Indonesia. Semua bangunan dapat diselesaikan tahun 1961. Hasilnya terjadi penurunan luas daerah genangan banjir dari 28.000 ha menjadi 13.600 ha. Terowongan Neyama tak hanya untuk pengendali banjir dan irigasi lahan pertanian, namun juga penggerak turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Lokasinya relatif tak jauh dari Pantai Popoh. Saat musim liburan, jalan ke terowongan (waduk) ini dijadikan jalan keluar bagi pengunjung Pantai Popoh. Dari realitas itulah,
Terowongan Neyaman layak dijadikan objek wisata. Apalagi bangunan air dan areanya tertata rapi dan bagus. Meskipun belum ada fasilitas lain untuk kategori wisata. Untuk mencapai Waduk Neyama bisa melalui terminal bus Tulungagung kemudian naik mobil penumpang umum (lazimnya Colt L-300) ke Pantai Popoh. Dari pantai ini bisa langsung ke area bendungan, tepat di jalur keluar objek wisata pantai tersebut. Namun sayang, belum ada kerjasama sinergis antara pengelola objek wisata pantai itu dengan PJT Divisi V Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar